Senin, 19 November 2012

PENDIDIKAN MULTIKULTURAL

PENDIDIKAN MULTIKULTURAL Oleh ; Mukhoiyaroh PENDAHULUAN Di beberapa kota besar, banyak djumpai sekolah dengan siswa yang beragam. Keragaman baik dari segi suku atau etnis, bahasa, status ekonomi, status social, bahkan agama. Karena latar belakang yang berbeda tersebut tentu masing-masing siswa mempunyai pola pikir, cara pandang serta pola perilaku (termasuk makanan, cara berpakaian, perayaan-perayaan dan) yang berbeda dalam menafsirkan satu peristiwa atau pengetahuan. Keberagaman ini dapat menjadi modal serta menjadi sarana dalam pendidikan dengan lebih melihat siswa sebagai manusia utuh dengan segala yang melekat pada dirinya. Sebagai modal, keragaman budaya, etnik, ras, bahasa, agama yang ada pada siswa menjadi materi yang dapat dipahami oleh siswa dengan lain budaya. Sebagai sarana, bahwa keragaman yang melekat pada siswa dapat menjadi pendekatan dan materi dalam pembelajaran . Tujuan utamanya adalah siswa dengan beragam budaya mendapatkan perlakuan yang sama dalam pendidikan dan saling menghargai budaya yang lain, sehingga siswa dapat bergaul dengan terbuka dengan latar belakang teman yang berbeda. SEJARAH EVOLUSI PENDIDIKAN MULTIKULTURAL Awal munculnya pendidikan dengan mengakomodasi perbedaan budaya adalah ketika gerakan studi-studi tentang etnik banyak berkembang di Amerika. Contoh dari gerakan tersebut adalah Association for the Study of Negro Life and History (ASNLH) sekarang menjadi Association for the Study Afro-American Life and History and the Associated Publishers. Dua organisasi ini diprakarsai oleh Sarjana Afrika Amerika yaitu; Woodson (1919/1968), Wesley (1935) dan Bond (1939) . Gerakan studi etnik Afrika-Amerika ini kemudian mendorong integrasi ethnic content ke dalam kurikulum sejak tahun 1960-an dan 1970-an. Integrasi ethnic content ini masuk dalam kurikulum untuk sekolah menengah dan college (Banks; 1997, 11). Perkembangan selanjutnya adalah gerakan pendidikan intergroup ( intergroup education). Gerakan ini muncul sebagai gerakan yang nantinya menjadi gerakan pendidikan multicultural multicultural education) yang mengusung isu tentang agama, Negara, kelopmpok ras sebagai variable dalam isu reduksi prasangka (reduce prejudice) dan diskriminasi (Banks; 13). Intergroup education ini menjadi gerakan penting sebagai respon adanya tekanan etnik dan ras dalam Negara. Ini sebagai akibat dari Perang Dunia ke II ketika banyak warga Afrika Amerika, Mexico-Amerika yang tinggal di pedesaan bermigrasi ke kota-kota di sebelah barat dan utara untuk mendapatkan pekerjaan terkait dengan perang. Di tempat baru inilah etnik baru ini mendapatkan tekanan. Karya ilmiah dan sumbangan teori tentang dari para sarjana tentang pendidikan antar-group ini banyak muncul, antara lain Louis Wirth (1928) ahli Sosiologi dari University of Chicago dan Gordon W. Allport (1954) seorang Social Psychologist dari Harvard University. Intergroup education dijabarkan ke dalam kurikulum dan metode-metode untuk sekolah- sekolah dan college. Evolusi dari intergroup education inilah yang akhirnya menjadi multicultural education dengan para arsiteknya yaitu; Baker (1977), Banks (1973), Gay (1971) dan Grant (1973, 1978) dalam (Banks, 1997; 19). ISU DALAM PENDIDIKAN MULTIKULTURAL Pendidikan multikultural merupakan gerakan yang muncul dari adanya perdebatan antara multikulturalisme secara konseptual berkembang seiring waktu dan penerapannya dalam pendidikan (Richard Race, 2011: 1) . Perdebatan yang terkait dengan ciri, tujuan dan ruang lingkup kajian yang sebagaimana ditulis oleh para ahli pendidikan multikultural (Banks, 2006; 3). Gay, sebagaimana dalam tulisan Banks (1997; 3) menyatakan bahwa ada gap yang dalam antara teori dan praktik dalam pendidikan multicultural. Menurutnya, gap tersebut karena perkembangan teori telah melampaui perkembangan dalam praktiknya. Adanya perbedaan atau gap tersebut karena perbedaan dalam pendekatan yang digunakan oleh para ahli yang kadang saling tumpang tindih. Perbedaan juga disebabkan karena pendefinisian tentang pendidikan multikultural itu sendiri. Namun kesepakatan yang paling diterima tentang pembahasan pendidikan multikultural adalah tentang tujuan dan sasaran (aims and goals) pendidikan multikultural (Banks; 3). Tujuan dan sasaran pendidikan multikultural inilah yang akan menjadi acuan dalam menentukan langkah praktis dalam pendidikan KONSEP PENDIDIKAN MULTIKULTURAL Sebagai sebuah wacana baru, pengertian pendidikan multikultural sesungguhnya belum begitu jelas dan masih diperdebatkan oleh para pakar pendidikan. Namun bukan berart definisi pendidikan multikultural tidak ada atau tidak jelas. Pendidikan multikultural masih diartikan sangat ragam, dan belum ada kesepakatan, apakah pendidikan multikultural tersebut berkonotasi pendidikan tentang keragaman budaya, atau pendidikan untuk membentuk sikap agar menghargai keragaman budaya. Pendidikan multikultural menjadi sangat penting dalam kondisi dunia yang serba cepat dalam perubahan dengan segala implikasinya, sebagaimana disoroti oleh Banks and Banks dalam Richard Race (8) : “We are living in a dangerous, confused, and troubled world that demands leaders, educators and (needs) classroom teachers who can bridge impermeable cultural, ethnic, and religious borders, envision new possibilities, invent novel paradigms, and engage in personal transformation and visionary action.” Secara jelas, Banks & Banks ( 2010; 25) mendefinisikan pendidikan multikultural sebagai: “Multicultural education is an idea stating that all student, regardless of the group to which they belong, such as those related to gender, ethnicity, race, culture, language, social class, religion, or exceptionally, should experience educational equality In the schools.” Pendidikan multikultural dengan demikian dapat didefinisikan sebagai konsep tentang pendidikan yang memperlakukan sama terhadap siswa dengan perbedaan latar belakang, baik ras, etnik, budaya, bahasa, kelas sosial, agama dan lainnya. Siswa di lihat dari perspektif sosial, sehingga mempegaruhi pola pikir dan perilakunya. Selanjutnya Banks and Banks (2007; 3) menyatakan bahwa pendidikan multikultural setidaknya mengusung tiga hal penting yaitu : konsep, gerakan reformasi pendidikan dan proses. Selengkapnya dinyatakan: Multicultural education is at least three things : an idea or concept, an educator reform movement, and a process. Multikultural education incorporates the idea that all students… should have an equal opportunity to learn in school. Another important idea in multicultural education is that some students, because of these characteristics, have a better chance to learn in schools as they are currently structured than do students who belong to other groups or who have different cultural characteristics. Isu pemerataan dan kesamaan hak dalam memperoleh pendidikan bagi setiap siswa karena keberbedaan yang dimilikinya menjadi isu penting dalam pendidikan multicultural. Tentunya setiap anak tidak mampu menolak dari golongan mana dia dilahirkan, dengan bahasa apa dan latar belakang social budaya serta latar belakang yang lain, sehingga membedakan seseorang dengan yang lainnya. Pluralitas dari sosial dan budaya siswa mempunyai banyak keuntungan, utamanya adalah dalam proses pembelajaran, hal tersebut dapat digunakan sebagai strategi untuk dapat mengenalkan kepada siswa tentang pluralitas kewarganegaraan. Siswa dengan keragaman budaya diajak untuk berpikir kritis bertukar pikiran tentang budaya lain, sehingga muncul penghormatan terhadap budaya yang berbeda dengan diri siswa tersebut. Keuntungan lain dari multikultural siswa ini dapat menjadi perluasan bagi pendidikan anti rasial, terorisme, juga anti diskriminasi. Dengan perbedaan budaya, etnik dan latar belakang siswa yang lainnya, maka adalah menjadi tugas guru untuk mengelola ketrampilan mengajarnya untuk mengembangkan keterampilan siswa dalam menghargai keberbedaan dalam kelas. Ada tiga asumsi sebagai refleksi dari falsafah multikultural menurut Richard Race (2011; 12) , yaitu : Pertama dan asumsi terpenting adalah bahwa perbedaan budaya adalah sesuatu yang positif, memperkaya pengalaman, membantu orang untuk belajar tentang budaya orang lainnya dan menjadi lebih baik serta lebih manusiawi. Maka, program pendidikan multikultural mempunyai tanggungjawab untuk merefleksikan perbedaan latar belakang siswa dalam kurikulum Asumsi kedua, bahwa pendidikan multikultural adalah untuk semua siswa, bukan hanya untuk kelompok minoritas. Kelompok mayoritas dapat memperoleh keuntungan juga dari belajar dan memahami perbedaan budaya. Karena itu, pendidikan multikulturalharus disediakan di sekolah-sekolah dan bukan hanya pada sekolah dengan populasi minoritas yang tinggi. Asumsi ketiga, adalah realisasi multikulturalyaitu, “mengajar adalah pertemuan lintas budaya”. Guru dan juga siswa-siswa mempunyai latar belakang budaya, nilai, adat, persepsi dan prasangka sendiri. Karakteristik budaya ini memainkan peran penting dalam pengajaran dan situasi belajar serta mempunyai pengaruh penting bagi pembelajaran dan berperilaku. Dalam pelaksanaan pembelajaran di kelas, hal inilah yang bukan perkara yang mudah, karena siswa dengan perbedaan yang unik dari social, etnis, budaya dapat dikelola oleh guru sebagai kelas dengan memberikan ruang yang luas bagi lintas budaya. Tentu perlu kerja keras guru untuk melakukannya. Menurut Kincheloe dan Steinberg dalam Blake (2002; 151), Pendidikan multikultural mendasarkan pada prinsip multikulturalliberal (Liberal Multiculturalism). Multikultural liberal mengusung dua nilai dasar, yaitu kebebasan (liberty) dan keadilan (equality), sehingga multicultural liberal dibangun atas tekanan antara persamaan dan perbedaan. Penekanan pada kesamaan dalam konteks pendidikan dapat membantu perkembangan toleransi ras pada masyarakat secara lebih luas, tetapi terlalu kuat penekanan pada kesamaan dapat menyebabkan tuduhan ketidakpekaan budaya dan penindasan. Sebaliknya, keragaman dapat disajikan sebagai sesuatu yang memperkaya budaya. Tetapi terlalu banyak penekanan pada perbedaan budaya, dapat melanggengkan stereotip dan mendorong pemisahan dan penolakan sosial. Dalam versi liberal, pendidikan multikultural, dengan demikian, ada tekanan yang sama pada dua prinsip utama. Dua prinsip itu adalah, di satu sisi, menghormati perbedaan (respect for difference), sisi yang lain, kebutuhan yang sama dari semua anak untuk pendidikan bagi kehidupan dalam masyarakat pluralis (education for life in a pluralist society) (Blake; 151) Prinsip menghormati perbedaan dan kebutuhan anak untuk mendapatkan pendidikan bagi kehidupan masyarakat yang pluralis, jika diterapkan dalam kurikulum sekolah adalah:. 1. Kurikulum merefleksikan perbedaan budaya anak yang melibatkan sistem yang plural juga, yaitu baik dari staff, nilai, struktur maupun tenaga pengajar. Dengan demikian anak berada dalam lingkup social yang beragam dan berinteraksi secara alami dengan masyarakat dengan budaya yang berbeda. 2. Menyingkirkan presentasi dari setiap pandangan atau konsep baik, tetapi lebih mendorong anak dari semua kelompok untuk kritis terhadap asumsinya. Tujuannya adalah agar anak berkembang sebagai individual yang atonom, dengan melihat perbedaan budaya secara kritis. 3. Mendorong anak-anak untuk mengembangkan sikap toleransi terhadap keyakinan dan pandangannya yang tidak mereka bagi, serta penghormatan sensitif bagi orang dari latar belakang budaya yang berbeda. 4. Berusaha untuk mempersiapkan siswa untuk menjadi warga pada masyarakat yang pluralis dan demokratis. Menantang semua bentuk rasisme, prasangka, bias, dan etnosentrisme ( baik langsung atau tidak langsung, personal maupun institusional) dan yang lainnya yang meniadakan akses yang sama bagi siswa untuk mendapatkan haknya sebagai warga Negara. 5. Memerlukan studi literatur, seni, musik, sejarah dan agama dari kelompok budaya yang berbeda dan dating untuk melihat perbedaan budaya sebagai sumber kekayaan dan keluasan perspektif. Tujuan pendekatan dalam pendidikan adalah mendorong semua siswa agar mengembangkan semangat melihat dalam hubungan dengan budaya yang lain. Mempunyai sikap terbuka dan pemahaman yang simpatik terhadap keberbedaan cara pandang terhadap dunia serta kerelaan untuk masuk kepada semangat kewarganegaraan dan masyarakat yang berbeda (Blake, 2002; 152) DIMENSI PENDIDIKAN MULTIKULTURAL Pendidikan multikultural merupakan proses pengembangan sikap dan tata laku seseorang atau sekelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pembelajaran, pelatihan, proses, perbuatan, dan cara-cara mendidik yang menghargai pluralitas dan heterogenitas secara humanistik. Pendidikan multikultural mengandung arti bahwa proses pendidikan yang diimplementasikan pada kegiatan pembelajaran di satuan pendidikan selalu mengutamakan unsur perbedaan sebagai hal yang biasa Sebagai implikasinya pendidikan multikultural membawa peserta didik untuk terbiasa dan tidak mempermasalahkan adanya perbedaan secara prinsip untuk bergaul dan berteman dengan siapa saja tanpa membedakan latar belakang budaya, suku bangsa, agama, ras, maupun adat istiadat yang ada. James A. Banks (1997; 5-8) mengidentifikasi ada lima dimensi pendidikan multikultural yang diperkirakan dapat membantu guru dalam mengimplementasikan beberapa program yang mampu merespon terhadap perbedaan siswa, yaitu : 1. Dimensi integrasi isi/materi (content integration). Integrasi isi ini memberi acuan guru untuk menggunakan contoh, data dan informasi dari berbagai budaya dan kelompok untuk menggambarkan konsep-konsep, prinsip-prinsip dan teori-teori dalam mata pelajarannya. Secara khusus, para guru menggabungkan kandungan materi pembelajaran ke dalam kurikulum dengan beberapa cara pandang yang beragam. Salah satu pendekatan umum adalah mengakui kontribusinya, yaitu guru-guru bekerja ke dalam kurikulum mereka dengan membatasi fakta tentang semangat kepahlawanan dari berbagai kelompok. Di samping itu, rancangan pembelajaran dan unit pembelajarannya tidak dirubah. Dengan beberapa pendekatan, guru menambah beberapa unit atau topik secara khusus yang berkaitan dengan materi multikultural. 2. Dimensi konstruksi pengetahuan (knowledge construction). Bahwa proses konstruksi pengetahuan merupakan prosedur dimana ilmuwan social, behavioral dan ilmuwan alam mengkreasi pengetahuan dan bagaimana asumsi budaya, kerangka rujukan, cara pandang dan bias dalam disiplin ilmu mempengaruhi cara pengetahuan itu tersusun. Suatu dimensi dimana para guru membantu siswa untuk memahami bagaimana pengetahuan itu terbentuk dan bagaimana itu dipengaruhi oleh ras, etnik dan kedudukan kelas social individu atau kelompok. 3. Dimensi pengurangan prasangka (prejudice ruduction). Guru melakukan banyak usaha untuk membantu siswa dalam mengembangkan perilaku positif tentang perbedaan kelompok. Sebagai contoh, ketika anak-anak masuk sekolah dengan perilaku negatif dan memiliki kesalahpahaman terhadap ras atau etnik yang berbeda dan kelompok etnik lainnya, pendidikan dapat membantu siswa mengembangkan perilaku intergroup yang lebih positif, penyediaan kondisi yang mapan dan pasti. Dua kondisi yang dimaksud adalah bahan pembelajaran yang memiliki citra yang positif tentang perbedaan kelompok dan menggunakan bahan pembelajaran tersebut secara konsisten dan terus-menerus. Penelitian menunjukkan bahwa para pelajar yang datang ke sekolah dengan banyak stereotipe, cenderung berperilaku negatif dan banyak melakukan kesalahpahaman terhadap kelompok etnik dan ras dari luar kelompoknya. Penelitian juga menunjukkan bahwa penggunaan teksbook multikultural atau bahan pengajaran lain dan strategi pembelajaran yang kooperatif dapat membantu para pelajar untuk mengembangkan perilaku dan persepsi terhadap ras yang lebih positif. Jenis strategi dan bahan dapat menghasilkan pilihan para pelajar untuk lebih bersahabat dengan ras luar, etnik dan kelompok budaya lain. 4. Dimensi pendidikan yang sama/adil (equity pedagogy). Dimensi ini memperhatikan cara-cara dalam mengubah fasilitas pembelajaran sehingga mempermudah pencapaian hasil belajar pada sejumlah siswa dari kelompok berbeda ras, etnik dan kelas sosial. Strategi dan aktivitas belajar yang dapat digunakan sebagai upaya memperlakukan pendidikan secara adil, antara lain dengan bentuk kerjasama (cooperatve learning), dan bukan dengan cara-cara yang kompetitif (competition learning). Dimensi ini juga menyangkut pendidikan yang dirancang untuk membentuk lingkungan sekolah, menjadi banyak jenis kelompok, termasuk kelompok etnik, wanita, dan para pelajar dengan kebutuhan khusus yang akan memberikan pengalaman pendidikan persamaan hak dan persamaan memperoleh kesempatan belajar. 5. Dimensi pemberdayaan budaya sekolah dan struktur sosial (empowering school culture and social structure). Dimensi ini penting dalam memperdayakan budaya siswa yang dibawa ke sekolah yang berasal dari kelompok yang berbeda. Di samping itu, dapat digunakan untuk menyusun struktur sosial (sekolah) yang memanfaatkan potensi budaya siswa yang beranekaragam sebagai karakteristik struktur. DASAR ONTOLOGI PENDIDIKAN MULTUKULTURAL Pendidikan mutikultural mendasarkan konsepnya pada pluralitas, kesetaraan dan demokrasi. Bahwa pendidikan mesti mengakomodasi berbagai keberbedaan yang ada pada setiap manusia. Manusia dengan perbedaan yang melekat pada dirinya berupa ras, etnik, bahasa, agama, status kelas social dan yang lainnya. Latar belakang yang melekat pada diri seseorang dapat berupa pola pikir atau ide, bentuk perilaku, cara berpakaian, cara berkesenian, berprestasi maupun dalam bentuk lain sebagai konsensus dari kelompoknya atau dari kesadaran otonominya dalam mewujudkan perilakunya. Pendidikan multikulltural juga mendasarkan pada prinsip kesetaraan dan demokrasi. Pendidikan multicultural melihat manusia secara sama dan setara dalam memperoleh perlakuan dalam pendidikan. Kesetaraan yang dilandasi oleh perbedaan yang melatarbelakangi seseorang. Pendidikan dengan kesetaraan ini mengajak anak untuk melihat orang lain secara adil dalam memperoleh haknya. DASAR EPISTEMOLOGI PENDIDIKAN MULTIKULTURAL Pembelajaran yang efektif adalah pembelajaran yang berpusat pada siswa. Pembelajaran yang efektif juga adalah pembelajaran yang bersifat interaktif dimana siswa dapat menemukan pengetahuan atau ilmu pengetahuan. Dalam konteks pendidikan multikultural, setiap siswa adalah individu milik kelompok, nasional, agama, budaya dan etnik. Maka, berbagai metode pembelajaran menyebabkan berbagai pandangan, yang pada gilirannya, mengembangkan pengetahuan. Pertanyaan tentang apa yang dimaksud pengetahuan yang benar, apakah mesti yang diajarkan guru atau yang dipelajari oleh siswa pada buku teks? Pada sebagian siswa, mungkin belum mampu untuk mengkritk kebenaran dari guru atau buku teks. Siswa adalah individu yang kebanyakan tidak mempunyai kebenaran. Bahkan untuk menanyakan sesuai dengan persepsi siswa tentang kebenaran saja, siswa merasa takut, sehingga guru adalah suatu kebenaran mutlak. Kebenaran pengetahuan yang dipelajari siswa adalah kebenaran ilmiah yang telah diferifikasi dan dikonfirmasi serta diterima oleh sekelompok saintis pada bidang yang sama. Sebaliknya pengetahuan yang salah adalah kebenaran pengetahuan itu tidak diterima oleh kelompok masyarakat ilmiah dalam bidang yang sama. Pendidikan multikultural melihat pengetahuan sebagai suatu yang terus berproses secara persisten dalam perbaikan dan pengembangan. Pengetahuan menghaslkan prosedur yang dimulai dari partisipasi dan perkembangan berlanjut dengan kritik dan perubahan yang dilakukan oleh individu. Sedangkan indvidu di sini adalah individu dengan latar belakang budaya, etnik, bahasa, agama dan kelompok sosial Jadi perbedaan menyebabkan berbagai pandangan dan berbagai pandangan menyebabkan pertumbuhan ilmu pengetahuan. DASAR AKSIOLOGI PENDIDIKAN MULTIKULTURAL Inti dari gerakan pendidkan multikultural terletak pada bangunan teori sosial Sebagaimana John Dewey menyatakan bahwa pendidikan adalah proses sosial yang bermakna, maka visi dari masyarakat harus didefinisikan, yaitu nilai-nilai dan norma perlu secara eksplisit dnyatakan. Pendidkan multikultural mendefinisikan proses ini dengan dialektika nilai dan norma yang tidak netral. Nilai suatu kelompok social tidak dapat diterapkan kepada kelompok social yang lain. Ada dua pendekatan dalam melihat nilai di tengah konflik menurut Bull, Fruehling dan Chattergy (1992) yaitu konsekuensialisme dan nonkonsekuenialisme. Konsekuensialisme menyatakan bahwa kebijakan atau tindakan alternatif harus sesuai dengan konsensus mereka. Sedangkan pendekatan nonkonsekuensialisme atau etika deontologis memandang bahwa tindakan atau kebijakan yang berbeda harus dinlai berdasarkan apakah mereka pada dasarnya benar- dari pada menurut konsekuensi. PENDIDIKAN MULTIKUTURAL DI INDONESIA Dalam konteks Indonesia, multikultural terasa dekat sekali dengan ciri Indonesia yang kaya dengan keragaman. Bahkan Indonesia merupakan Negara multikultural terbesar di dunia. Kebenaran dari pernyataan ini dapat dilihat dari kondisi sosio-kultur maupun geografis yang begitu luas. Ada sekitar 300 suku yang menggunakan hampir 200 bahasa yang berbeda (Ainul Yakin, 2005:4). Menurut Hamid Hasan (2000; 6), bahwa masyarakat dan bangsa Indonesia memiliki keragaman sosial, budaya, aspirasi politik dan kemampuan ekonomi. Keragaman tersebut berpengaruh langsung terhadap kemampuan guru dalam melaksanakan kurikulum, kemampuan sekolah dalam menyediakan pengalaman belajar dan kemampuan siswa dalam berproses, belajar dan mengolah informasi menjadi sesuatu yang dapat diterjemahkan sebagai hasil belajar. Keragaman itu menjadi suatu variabel bebas yang memiliki konntribusi sangat signifikan terhadap keberhasilan kurikulum, baik sebagai proses maupun sebagai hasil. Dengan demikian pendidikan multikultural adalah pendidikan nilai yang ditanamkan kepada siswa, agar mempunyai persepsi dan sikap yang multikulturalistik, dengan memperlakukan orang lain secara setara, hidup berdampingan dalam berbagai kultur, bahasa, ras, etnik dan agama. Pendidikan multikultural, mejadi suatu kebutuhan, terutama untuk pendidikan yang berada di kota, karena di kota banyak para urban datang ke kota dengan berbagai alasan, salah satunya adalah pekerjaan dan ketersediaan pendidikan dengan mutu yang baik. Pendidikan multikultural menjadi semacam solusi bagi banyaknya konflik terjadi atas nama pembelaan terhadap suku, agama atau keyakinan, ras dan adat (SARA). Pelaksanaan pendidikan multikultural dapat dilaksanakan bukan sebagai satu mata pelajaran tersendiri, tetapi dapat sebagai pendekatan dalam pelaksanaan pembelajaran. Pembelajaran tentang suatu ilmu bisa dilihat dari perspektif siswa secara individu, pandangan etnisitas, maupun pandangan khas dari pola piker siswa yang terbentuk karena berbeda latar belakang tersebut. Secara kanonseptual pendidikan multikultural adalah suatu yang bisa diharapkan untuk menciptakan suasana kehidupan yang demokratis. Namun, dalam realitasnya masih butuh banyak dukungan untuk mencapai tujuan tersebut. Sebagai contoh, masih banyaknya kebijakan pemerintah yang masih berorientasi pada mayoritas, rendahnya komitmen dari pelaksana kebijakan, dan kurangnya pemahaman tentang pendidikan kurikulum, karena kurangnya sosialisasi. Kesenjangan ekonomi juga disinyalir menjadi penyebab konflik. Kondisi demikian perlu diatasi dengan meminimalisir kesenjangan ekonomi dalam kehidupan, Diantaranya dengan melakukan investasi pada pembangunan manusia di berbagai bidang kehidupan. Konglomerasi dan kapitalisasi dalam kenyataannya telah menumbuhkan bibit-bibit masalah yang ada dalam masyarakat. Kekerasan tidak dapat dihentikan selama politik yang dipakai oleh pemerintah masih menggunakan cara-cara kekerasan. Tokoh yang medorong pendidikan multikultural sebagai suatu kebutuhan antara lain adalah Nur Kholis Madjid, Jalaluddin Rohmat, Gus Dur, Mukti Ali, Dawam Raharjo, Harun Hasution dan HAR. Tilaar. Gagasan mengenai pendidikan multikultural di Indonesia menjadi suatu kebutuhan dengan alasan : Pertama, merupakan realitas yang tak terbantahkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk, Kedua, harus diakui juga bahwa sejak lengsernya Soeharto pada tahun 1998 bangsa Indonesia tengah mengalami transisi demokrasi menuju konsolidasi demografi. Dengan pendidikan multikultural diharapkan dapat membantu anak/ siswa mengembangka perilaku, dan nilai-nilai yang lebih demokratis. Melihat keberbedaan siswa sebagai kekayaan dalam mengembagkan ilmu serta terwujud dalam perilaku yang memperlakukan orang lain sama istimewanya dengan dirinya, karena perbedaan tersebut. KESIMPULAN 1. Pendidikan multikultural adalah konsep tentang pendidikan yang memperlakukan sama terhadap siswa dengan perbedaan latar belakang, baik ras, etnik, budaya, bahasa, kelas sosial, agama dan lainnya. Siswa di lihat dari perspektif sosial, sehingga mempegaruhi pola pikir dan perilakunya. 2. Dua prinsip pendidikan multikultural adalah, menghormati perbedaan (respect for difference), dan kebutuhan yang sama dari semua anak untuk pendidikan bagi kehidupan dalam masyarakat pluralis (education for life in a pluralis society) 3. Tujuan dari pendidikan pendidikan multikultural adalah siswa dapat mengembangkan perilaku dan nilai-nilai yang lebih demokratis dalam melihat perbedaan latar belakang siswa lain. 4. Lima dimensi pendidikan multikultural yang dapat diterapkan dalam pendidikan meurut tokoh pendidikan multikultural James A. Banks adalah: a. Integrasi isi (content integration) b. Proses konstruksi pengetahuan (the knowledge construction process) c. Reduksi prasangka (prejudice reduction) d. Kesetaraan dalam pembelajaran (an equity pedagogy) e. Pemberdayaan budaya sekolah dan struktur sosial (an empowering school culture and social structure) 5. Implikasi pendidikan multikultural dalam kurikulum berupa materi yang teritegrasi dengan mata pelajaran, metode pembelajaran dan evaluasi yang mengakomodasi semua latar belakang siswa. DAFTAR RUJUKAN Ainul Yakin. 2005. Pendidikan Multikultural; Cross-Cultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan. Yogyakarta: Pilar Media Fancisco Hidalgo, Rudolfo Chavez-Chavez. Jean C. Ramage. 2000. Multicultual Education Lanscape for Reform in The Twenty-First Century. Hanurawan, F. 2012. Pengantar Filsafat. Malang: Fakultas Ilmu Pendidikan: Universitas Negeri Malang. James A. Banks, Cherry A. McGee Banks (Eds.). 2010. Multicultural Education Issues and Perspectives. Seventh Editio. John Wiley & Sons James A. Banks. 1997. Multicultural Education: Historical Development, Dimension, and Practice, American Educational Research Association. N, Blake, P.P. Smeyers, R. Smith, P. Standish (Eds.).2000. The Blackwell Guide to The Philosophy of Education. Maiden, MA: Blackwell Publisihing. Richard Race, 2011. Multicultural and Education.Contemporary Issues in Education Studies. New York: Continuum International Publishing Group

Tidak ada komentar:

Posting Komentar